BATAM – Cakrawalaonline, Menteri Investasi Bahlil
Lahadalia menegaskan tidak ada pengosongan Pulau Rempang pada 28 September
mendatang.
Sebelumnya, Badan Pengusahaan (BP) Batam menetapkan
tanggal tersebut sebagai tenggat pengosongan Pulau Rempang yang akan dijadikan
kawasan Rempang Eco City, bagian dari proyek strategis nasional.
"Nggak, nggak, nggak (tidak ada pengosongan).
Jadi jangan salah persepsi. Ini kan masih bagian dari proses sosialisasi. Saya
sudah menyampaikan ini Saudara-saudara kita nanti kita akan tentukan
tanggalnya," kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin
(25/09).
Secara terpisah, Kepala BP Batam, Muhammad Rudy,
mengatakan hal serupa. Tim pendataan BP Batam, imbuhnya, masih berfokus pada
sosialisasi hak-hak masyarakat yang bakal direlokasi.
“Saya tegaskan, 28 September 2023 bukan batas akhir
pendaftaran apalagi relokasi," kata Rudi kepada wartawan di Batam, Senin
(25/09) seperti dilaporkan Kompas.com. Seorang tokoh masyarakat di Pulau
Rempang mengatakan masyarakat yang tinggal di kampung-kampung bersejarah masih
menolak untuk dipindahkan. "Tenggat waktu 28 September 2023 mendatang
bukan batas akhir. Kami berharap, proses pergeseran warga terselesaikan dengan
baik dan lebih cepat. Namun, tidak ada paksaan atau intimidasi,” imbuhnya.
Keputusan ini muncul menyusul penolakan keras dari
warga 16 kampung tua yang terancam tergusur oleh pembangunan Rempang Eco City.
Sebagian masyarakat menolak untuk direlokasi karena
khawatir akan kehilangan ruang hidup mereka.
Penolakan warga sempat mengakibatkan bentrokan
dengan aparat yang memaksa masuk ke Rempang untuk melakukan pengukuran pada 7
September lalu.
Insiden tersebut diwarnai penggunaan kekuatan
berlebihan serta tembakan gas air mata yang tidak terukur oleh polisi, menurut
Komnas HAM.
Arahan Presiden Jokowi soal Rempang
Pada Senin (25/09), Presiden Joko Widodo memanggil
sejumlah menteri serta pejabat terkait mengikuti rapat terbatas (ratas) soal
Pulau Rempang.
Selain Menteri Bahlil, hadir pula Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta Menko Perekonomian Airlangga
Hartarto.
Menteri Bahlil mengungkap bahwa dalam ratas tersebut
Presiden Jokowi memerintahkan agar penyelesaian persoalan Rempang dilakukan
secara kekeluargaan.
“Tadi Bapak Presiden dalam arahan rapat pertama
adalah untuk penyelesaian masalah Rempang harus dilakukan secara baik secara
betul-betul kekeluargaan. Dan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan
masyarakat di sekitar di mana lokasi itu diadakan," ujarnya di Kompleks
Istana Kepresidenan, Senin (25/09) sebagaimana dilaporkan detik.com.
Presiden juga menugaskan kementerian-kementerian
terkait untuk menyelesaikan persoalan Rempang secara bersama-sama, imbuhnya.
Bahlil menjelaskan bahwa dari 17.000 hektare area di
Pulau Rempang, yang akan dikelola oleh pemerintah hanya sekitar 7.000-8.000
hektare. Selebihnya akan dibiarkan sebagai hutan lindung.
“Dan kami fokus pada 2.300 hektare tahap awal untuk
pembangunan industri yang sudah kami canangkan tersebut untuk membangun
ekosistem pabrik kaca dan solar panel," tuturnya.
Bahlil kembali menegaskan bahwa warga Pulau Rempang
tidak akan digusur atau direlokasi ke pulau lain, namun “digeser” ke lokasi
lain di pulau yang sama.
Menurut Bahlil, warga terdampak akan dipindahkan ke
Tanjung Banun. Dia mengklaim sudah ada 300 kepala keluarga (KK) dari total 900
KK yang bersedia dipindahkan.
BP Batam klaim ratusan keluarga di Rempang sepakat
pindah
Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengeklaim bahwa
hingga 23 September sudah ada lebih dari 200 kepala keluarga yang sepakat untuk
dipindahkan ke hunian sementara; sedangkan 400 lainnya telah melakukan
konsultasi dengan tim satuan tugas Rempang Eco City.
“Saya ingin tim mengutamakan pendekatan humanis.
Sekali lagi saya katakan, saya tidak mau ada paksaan atau intimidasi terhadap
warga saya di Rempang," kata Rudi, yang juga menjabat sebagai Wali Kota
Batam.
Sebelumnya, BP Batam berencana melaksanakan relokasi
terhadap empat kampung pada tanggal 28 September untuk tahap pertama
pembangunan Rempang Eco City.
Pemerintah menyiapkan berbagai bentuk kompensasi
untuk warga yang terdampak, termasuk hunian tetap berupa rumah tipe 45 senilai
Rp120 juta dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi berikut sertifikat hak
miliknya.
• Warga
Pulau Rempang menolak klaim Menteri Investasi Bahlil bahwa mereka 'setuju untuk
digeser'
• ‘Kami
tidak akan pindah meski kami terkubur di situ’
• Polisi
salahkan angin atas masuknya gas air mata ke wilayah sekolah di Rempang, kata
Komnas HAM
Menteri Bahlil menjelaskan, dalam proses transisi,
masyarakat juga akan mendapatkan uang tunggu sebesar Rp1,2 juta per orang dan
uang kontrak rumah sebesar Rp1,2 juta per KK.
Dia mencontohkan, jika dalam satu KK tersebut ada
empat orang, maka mereka akan mendapatkan uang tunggu sebesar Rp4,8 juta dan
uang kontrak rumah Rp1,2 juta sehingga totalnya Rp6 juta.
Sebagian masyarakat kukuh tidak mau pindah
Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan
(Keramat), Suardi, mengatakan pihaknya sudah menyampaikan ke Wakapolda
Kepulauan Riau (Kepri) mengenai risiko keamanan bila rencana pengosongan
dipaksakan pada 28 September mendatang.
“Alhamdulillah jika Pak Bahlil sudah merilis secara
resmi,” jelasnya kepada BBC News Indonesia.
Keputusan ini muncul setelah Bahlil berdialog dengan
perwakilan Keramat serta beberapa warga di Rempang pekan lalu. Suardi
mengatakan, dalam kesempatan tersebut mereka menyerahkan kepada masyarakat
apakah mereka bersedia “digeser” ke Tanjung Banun atau tidak.
Masih ada beberapa warga yang kukuh tidak mau
pindah, menurut Suardi.
“Kita berharap ada solusi terbaik untuk ini;
bagaimana semuanya berjalan sesuai rencana – baik itu rencana pemerintah maupun
rencana masyarakat. Dua sisi.”
“Pada intinya, masyarakat Rempang tidak pernah menolak
adanya investasi. Mereka hanya menolak kampung-kampung sejarah mereka digusur.
Itu saja,” tutur Suardi.
Suardi belum bisa mengonfirmasi pernyataan Menteri
Bahlil bahwa sudah ada 300 KK yang menyatakan bersedia digeser. Dia menjelaskan
ada beberapa warga yang memiliki tanah garapan di atas kampung bersejarah;
mungkin merekalah yang sudah mendaftar.
“Cuma yang belum [bersedia digeser] kalau saya
perhatikan itu adalah kampung yang memang kampung sejarah,” ujarnya.
Sejumlah warga Rempang sebelumnya berkata kepada BBC
News Indonesia bahwa mereka tetap menolak untuk pindah dari kampung mereka,
meskipun sekarang disebut “penggeseran”.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah
mengingatkan pemerintah untuk tidak mengklaim persetujuan masyarakat tanpa benar-benar
mendengarkan aspirasi mereka yang terdampak. Sikap itu dikhawatirkan dapat
memicu saling curiga dan konflik horizontal.
Menurut AMAN, klaim-klaim semacam itu telah berulang
kali menjadi taktik penguasaan lahan untuk PSN, dengan pola yang sama ditemukan
dalam pembangunan bendungan Wadas di Jawa Tengah, waduk Lambo di Nusa Tenggara
Timur, IKN di Kalimantan Timur, dan lain-lain. Cl – Sumber : BBC Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar