Jakarta – Cakrawalaonline, Tiga
pasangan calon presiden dan wakil presiden makin gencar berkampanye di media
sosial demi menggaet suara pemilih muda dan pemula di Pilpres 2024.
Anies Baswedan misalnya, menjajal fitur siaran
langsung atau live TikTok untuk berinteraksi dengan para pengguna platform itu
yang kebanyakan generasi muda.
Di sana, capres nomor urut 1 itu mengobrol dan
menjawab pertanyaan dari pengguna. Anies bahkan mendapatkan julukan "abah
nasional" karena memberikan nasihat-nasihat kepada para penonton siarannya.
Siaran langsung di TikTok itu kemudian juga Ganjar
Pranowo dan Mahfud MD. Ganjar membahas beragam hal saat siaran langsung di
TikTok. Mahfud juga sempat membahas klub sepak bola kesukaannya,
Manchester United (MU).
Sementara itu, sejak awal kampanye, Prabowo
Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memang sudah ramai di TikTok. Prabowo makin
dikenal dengan joget "gemoy".
Pakar Komunikasi Politik Universitas Telkom Adi
Bayu Mahadian menilai kampanye di media sosial yang semakin gencar ketiga
paslon memang sengaja dilakukan untuk menggaet pemilih muda yang proporsinya
cukup besar.
Adi menjelaskan di era media sosial, ada perubahan
pola di masyarakat yang menjadi target suara dalam kontestasi pemilu. Mereka
yang mempunyai akses internet cepat dinilai semakin jarang melihat media massa
konvensional.
Apalagi berdasarkan data KPU, generasi milenial dan
Z yang aktif di media sosial menjadi kelompok pemilik hak suara terbesar yakni
55,6 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024.
Sementara kelompok pemilih dari generasi pre
boomer (lahir sebelum 1945) hanya sebesar 1,7 persen, baby boomer yang lahir
pada 1945-1964 sebanyak 13,7 persen, dan Gen X (1965-1980) sebanyak 28,1 persen.
"Sehingga para capres-cawapres harus sebisa
mungkin menjangkau kelompok suara tersebut yang tersebar di berbagai platform
media sosial," ujar Adi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/1).
Adi pun berpendapat upaya menggaet suara pemilih
muda lewat gimik tersebut terbukti ampuh. Menurutnya, Prabowo dengan persona
"gemoy" yang dibangun sejak awal, memiliki elektabilitas yang paling
tinggi di antara kelompok generasi milenial dan Z.
Berdasarkan survei Poltracking Indonesia dan
Indikator Politik pada periode Oktober-November, elektabilitas Prabowo-Gibran
pada dua generasi itu tercatat selalu berada di atas 40 persen.
"Konten Prabowo gemoy cukup menarik perhatian
kelompok muda. Tampilan Prabowo yang lucu, dianggap melengkapi atributnya
sebagai elite, mantan militer, dan menteri," jelasnya.
Namun Adi menilai bukan tidak mungkin
elektabilitas Prabowo-Gibran bisa disusul Anies ataupun Ganjar yang saat ini
sudah mulai aktif kampanye di sosial media.
Pendapat senada disampaikan analis komunikasi
politik dari Universitas Brawijaya Verdy Firmantoro. Ia menilai saat ini para
paslon berusaha memanfaatkan ceruk suara yang tersebar di seluruh platform
media sosial.
Verdy mengatakan berdasarkan data yang ada, dari
167 juta pengguna media sosial, hampir 90 persen di antaranya termasuk generasi
milenial dan z yang merupakan kelompok pemilih pemula.
"Dengan tingkat keterjangkauan yang besar dan
distribusi pesan yang luas, sangat rugi jika peluang itu tidak dimanfaatkan
untuk meraih simpati masyarakat," ucapnya.
Verdy menyebut kelompok pemilih ini juga tidak
lagi cocok dengan model kampanye cara tatap muka seperti yang selama ini kerap
dilakukan.
Maka, dengan durasi masa kampanye yang terbatas,
para paslon dapat memanfaatkan peran media sosial untuk menarik suara pemula.
Sementara untuk kampanye langsung dapat dioptimalkan untuk segmen pemilih lain
seperti baby boomer ataupun generasi X.
"Media sosial juga bisa memangkas biaya
politik di tengah menjamurnya penggunaan media luar ruang politik seperti
baliho, banner dan spanduk yang dinilai mulai kurang menarik," ujar Verdy.
Ia mengatakan berbagai gimik Anies, Prabowo, dan
Ganjar, memang sengaja dibangun sebagai strategi komunikasi untuk menyampaikan
pesan bahwa politik tidak lagi bersifat elitis.
Menurut Verdy, cara itu cukup ampuh untuk
mengurangi penolakan ataupun sikap apatis dari pemilih muda yang selama ini
menganggap politik sebagai sesuatu yang kotor, kaku, dan birokratis.
"Dari segi komunikasi politik, apa yang
dilakukan ketiga paslon mulai dari Anies Bubble, Prabowo gemoy, hingga Mahfud
MD yang juga mencoba live TikTok adalah bentuk political engagement,"
tuturnya.
Salah langkah kerahkan buzzer
Di lain sisi, Verdy mengingatkan agar ketiga
paslon tidak salah langkah di media sosial. Menurutnya, pengerahan buzzer untuk
mendiskreditkan lawan politik tak bisa digunakan pada kelompok generasi muda.
Ia mengatakan hal ini penggunaan buzzer secara
masif hanya akan memantik kebencian.
"Karena mereka memahami konteks dunianya di
media sosial. Apakah ini buzzer, second account, atau akun yang diorganisir
untuk penggembosan dan lainnya," kata Verdy.
"Jadi ketika mereka dipengaruhi oleh konten
yang tidak relevan atau istilahnya melakukan upaya polarisasi atau
memutarbalikkan fakta itu tidak begitu efektif di kalangan milenial,"
imbuhnya.
Adi juga menyebut upaya pelemahan lawan politik
dengan kampanye hitam berpotensi menjadi buah simalakama ketika dihadapkan
dengan pemilih muda.
Dengan menempatkan diri sebagai 'korban', ia
menilai paslon yang menjadi target kampanye hitam tersebut bisa jadi akan lebih
banyak mendapatkan simpati publik.
"Karena pengambilan keputusan seorang calon
pemilih tidak melulu berdasarkan komentar positif. Bisa jadi korban cacian di
media sosial, malah dipilih karena kasihan," ucapnya. Cl – Sumber :
CNN Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar